ORES


Aku melihat Ores di wajah istri-istri para mantan pacarnya. Aku menemukan Ores menjadi nama yang disandang anak-anak para mantan pacarnya. Aku melihat Ores menjadi obsesi, aku melihat Ores menjadi tugu.
Tapi Ores yang menanggung semua karma. Di balik semua kekaguman dan obsesi yang meliputinya, dia harus menanggung semua akibat dari apa yang dia lakukan. Dia menerima kekalahan setelah kemenangan-kemenangan semu yang entah sengaja entah tidak, telah ia pahatkan. Ia patahkan hampir semua pria yang menaruh hati padanya. Tanpa alasan atau alasan yang tidak ia ungkapkan.
Ores psikopat dibalik semua kecerdasan, keberanian, ketangkasan, prestasi-prestasinya yang gemilang dan kecantikannya. Dia mengukir luka dari masa lalunya, menjejakkan dan membagi luka itu kepada siapa saja yang ingin mengobati dan memberinya penawar.
Ores yang malang. Ores yang luka dan semakin luka. Dia tak lagi menemukan dirinya. Dia tersesat jauh dan semakin jauh.
***
“Apa kabar Ores?”
Dua puluh tujuh  pria berkumpul secara incidental di sebuah loby hotel di sudut kota. Mereka datang dari seluruh pojok negeri dan benua. Incidental? Dua puluh tujuh? Tidak mungkin!
Secara jelasnya, Ores mengatur semuanya sedemikian rupa sehingga tampak seperti bukan undangan. Tetapi dua puluh tujuh mantannya berkumpul di tempat yang sama dalam satu waktu.
“Apa kabar Ores?”
Beberapa di antara mereka saling mengenal. Beberapa lain yang tidak, akhirnya tahu dengan siapa-siapa mereka bertemu. Tapi Ores tidak ada bersama mereka, belum. Dan Ores tentu saja menjadi tugu yang diperbincangkan meski ia tak nampak dan meski jelas bahwa pertemuan ini dirancang untuk sesuatu. Tapi tak seorang pun beranjak.

“Aku tidak pernah membencinya meski ia mencampakkan aku. Dia jadi mercu suarku sepanjang waktu. Memikirkannya dan ekspetasinya, membuatku memiliki dendam positif sehingga menjadi sukses seperti sekarang” seorang dokter spesialis terkemuka membuka suara.
Jelas siapa yang ia bicarakan dan agak aneh karena meski kedua puluh tujuh pria itu terobsesi pada tugu yang sama, namun tak ada lagi aroma persaingan seperti belasan tahun yang lalu.
Kemudian satu persatu bicara tanpa ada permusuhan, meski di antara mereka dulunya pernah nyaris berjibaku karena memperebutkan tugu yang sama.
“Ores perlu disembuhkan” sebuah suara bicara. Seorang insinyur brilliant menukas di tengah riuh rendahnya testimony.
“Ia jelas sakit. Apa ia sudah sembuh? Ia menginginkan sesuatu dari kita? Pemberian maaf?” seorang pengusaha tambang angkat bicara.
“Aku sudah memaafkannya sejak lama” sambungnya.
Lalu semua berdengung seperti lebah. Bersahut-sahutan seperti burung berkicau. Lalu, senyap.
“Di mana Ores?” hampir semua bertanya. Masih dalam dengung dan sahut menyahut.
Tak ada yang bisa menjawab. Namun tak satupun yang beranjak pergi.
***
Ores menekur, lama terpekur. Dia kesepian dan lelah mencari dirinya sendiri. Kembali sendiri setelah kematian suaminya, membuatnya kembali bertualang. Tapi dia tak menemukan apa yang dicarinya. Akhirnya dia sadar, dia takkan pernah bisa. Dia meninggalkan banyak luka setelah kelukaannya sendiri dan belum meminta maaf. Jadi sejauh apapun langkahnya, dia takkan pernah sampai.
***
Aku orang yang Ores temui setelah tujuh belas tahun tak pernah lagi bertatap muka meski aku terus mengikuti apa saja yang dia kerjakan. Dia tuguku juga. Tapi aku tak pernah menampakkannya, jadi aku mungkin orang kedua puluh delapan yang harusnya ada di daftar, tetapi dia menempatkanku di nomor nol.
“Untuk apa pertemuan itu, Ores?” tanyaku. Tuguku tak harus menasbihkan diri sebagai seorang psikopat meski kenyataannya begitu.
“Bukan untuk apa-apa. Bukan untuk siapa-siapa. Kamu mau melakukannya untukku kan?”
Aku hanya mengangguk. Seperti dulu aku mengangguk jika dia mengirimkan surat balasan untuk pacar-pacarnya lewat aku. Seperti dulu aku mengangguk, mengiyakan permintaannya padaku untuk mengantar undangan pernikahan ke beberapa mantannya. Seperti dulu aku mengangguk.
***
Ya. Kenapa harus wajah Ores yang melekat pada wajah istri para mantan pacarnya. Kenapa harus nama Ores tersandang pada nama anak-anak mereka. Kenapa?
Menurutku bukan Ores yang seharusnya meminta maaf pada mereka. Tetapi mereka yang harus meminta maaf padanya. Beban itu menindih luka yang telah ia derita. Ores yang malang.
***
Malam itu Ores belum lagi nampak. Tapi tak seorang pun hendak beranjak. Mereka bermalam, namun tak seorang pun menutup mata. Semalaman membincangkan Ores tanpa henti. Tugu itu tak pernah rubuh ternyata. Sangat sangat mengherankan dan tak masuk akal, apalagi hampir semuanya terpelajar dan memiliki keluarga bahagia. Balas dendam positif menjadikan mereka tugu- tugu yang sesungguhnya.
***
Sampai matahari hampir kembali bangun, Ores belum lagi nampak tapi tak seorang pun beranjak. Tidak ada pembunuhan malam itu, jadi ini bukan thriller. Tapi apa ini?
“Senang sekali bertemu dengan semua pria sukses di ruangan ini” seorang creative director membuka pagi. Mereka berkumpul menikmati kopi dan harum pegunungan. Sisa hujan dan bias purnama semalam merapatkan mereka lagi. Ores ada di sini. Bersama mereka, tapi entah di mana.
Setahun terakhir mereka memang kehilangan jejaknya. Tugu itu tak pernah pergi dari hati. Jadi merindukannya dan hasrat ingin bertemu kembali yang membawa mereka semua datang ke tempat ini.
“Tapi dimana Ores?”
Pertanyaan yang sama meski mereka tahu Ores tak pernah pergi. Mereka menyimpannya di dalam hati. Ores yang luka, Ores yang mereka cintai, Ores yang paradox, Ores yang sama sekali tak sempurna tetapi menjadi tugu.
***
Perbincangan siang sudah bergeser dari Ores menjadi perbincangan lain. Sama-sama sukses, sama-sama berkelas, jadi pertemuan itu serupa pintu-pintu baru yang mengasyikkan untuk saling berbagi. Karir yang bagus, keluarga yang bahagia dan jalan hidup yang menanjak adalah common thing, hal sama yang terjadi pada mereka.
Perbincangan tentang sukses, pencapaian bermuara pada balas dendam positif atas apa yang Ores lakukan pada mereka.
“Kita berhutang terima kasih pada Ores” senada merdu suara bersahutan.
Perbincangan tentang happy family membuka kesadaran bahwa mereka tak pernah melepaskan Ores sedikitpun. Ores ada pada wajah istri-istri mereka. Ores adalah nama yang mereka sebut ketika memanggil nama anak-anak mereka.
“Kita menyerap energy terlalu banyak dari Ores!” seorang pengusaha property sukses tercekat dalam teriakan kecilnya. Dalam kesadarannya. Aku rasa hampir semuanya mengangguk dalam hati kecilnya, seperti aku mengangguk.
“Bukan Ores yang menghendaki pemberian maaf dari kita. Kita yang mustinya meminta maaf dari dia” pria rapi direktur perusahaan asuransi menyimpulkan sesuatu. Aku rasa hampir semuanya mengangguk dalam hati kecilnya, seperti aku mengangguk.
“Tapi di mana Ores?” semua orang bertanya, kecuali aku.
***
Ores menekur, terbujur. Dia kesepian dan lelah mencari dirinya sendiri. Kembali sendiri setelah petualangannya. Tapi dia tak menemukan apa yang dicarinya.
Aku takkan membiarkannya terluka lagi lebih lama. Aku mencintainya, sangat. Aku mengabulkan apa saja yang dia inginkan. Aku ingin selalu membahagiakannya, dulu, sekarang, selamanya. Aku membebaskannya. Membebaskannya dari derita, dari karma, dari luka. Aku menebas tugu itu, rubuh dan terbaring.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi