52


Rumah riuh oleh keramaian. anak-anakku lari berkejaran dengan sepupu-sepupu mereka. Para pria mengangkat –angkat kursi dan menggelar karpet di seluruh bagian rumah. Di dapur ibu dibantu seorang pembantu dan tukang masak langganan berkutat dengan dua kompor gas dan satu pawon batu bata, memasak berbagai bahan. Harum masakan menggoda dan mengalir sampai ke ruang makan tempatku duduk.
Hanya sekali dalam setahun kami berkumpul.  Adikku dari Mesir datang, yang dari Aceh pulang sebentar, yang masih ambil spesialis di Solo juga menyempatkan diri. Aku yang kemarin –  kemarin di Semarang, sudah standbye di rumah Demak ini menemani ibu kembali. Adik – adik ayahku khusus datang untuk acara penting.  Ini tahun yang kesebelas.
Seperti biasanya, tanpa dikomando, kegiatan masak memasak dan persiapan acara haul diselingi dengan berbagai perbincangan terutama mengenai yang dihauli, ayah.

“Aku tidak ingat yang itu” sahutku mendengar penuturan bulik Ain. Tentang sesuatu yang terjadi saat upacara pemakaman ayah.
“Opo… kamu tuh paling tidak dengar apa-apa, wong kamu lemes dumes kayak gitu kok” kata bulik Ain sambil berseloroh. Tangannya masih tetap bekerja. Mencetak semangkok nasi dan menaruhnya di dalam kardus.
“Mbak Afi kan semaput  pingsan begitu masuk pintu rumah” ujar Wiya, adikku yang baru saja menyelesaikan studinya di Al Azhar Kairo.
“Oh ya? “ sahutku heran.
“Memang sih waktu itu aku nggak bisa lihat apa –apa. Semuanya gelap. Kabur. Yang kuingat hanya remang-remang. Mungkin karena kabut air mata” aku berusaha mengingat semuanya, tapi tidak berhasil. Mungkin karena rentang waktu sebelas tahun itu. Mungkin juga karena tidak banyak yang bisa kuingat.
Seingatku aku tidak pingsan betulan. Tapi lemas sekali dan bersimbah air mata sehingga tidak bisa melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa.
“Wong saking lemasnya kamu, ibu sampai menjanjikan kamu untuk sekolah S2 supaya kamu tidak terlalu sedih. Supaya kamu masih punya pengharapan dan semangat hidup” sahut ibu sambil meletakkan sepiring sambal goreng ke dekat adikku kemudian berlalu menuju dapur lagi. Wiya sibuk menata lauk ke dalam wadah plastik mika, yang nantinya ditaruh di atas nasi dalam kardus berkat.
“Oh ya? Ibu menawariku S2?” seruku terkejut. Keningku kembali berkerut.
Bulik Ain dan Wiya tertawa – tawa melihat keterkejutanku. Mereka mungkin tahu benar bagaimana lemasnya diriku pada saat hari kematian ayah itu.
“Yang ini aku benar-benar tidak ingat. Kalau tahu begitu waktu itu, pasti aku sudah menagih disekolahkan S2 oleh ibu” kataku spontan.
Tawa bulik Ayin dan Wiya meledak lagi.
“Mbak… ini lho kata Afi. Kalau tahu dijanjikan S2, dia akan menagih” setengah berteriak bulik Ain memberitahu ibu.
Perempuan enam puluh tahun namun masih energik itu datang dari arah dapur sambil tersenyum-senyum. Mungkin dia merasa beruntung bahwa aku tidak mendengar janjinya saat itu, sehingga tidak menagihnya. Dan sebelas tahun berlalu. Waktu yang terlalu jauh untuk menagih janji yang mungkin juga diucapkan hanya untuk melipur laraku saja, dan tidak sungguh-sungguh diucapkan.
S2. Aku sangat ingin sekolah lagi. Itu keinginanku sejak lama. Mungkin itu pula yang membuat ibu menjanjikannya padaku. Saat ini meski aku masih sangat menginginkan kuliah lagi, aku ingin mengupayakan sendiri. Mencari beasiswa. Aku sudah punya dua anak peninggalan almarhum suamiku. Jika aku sekolah lagi, aku harus punya cukup uang untuk membawa mereka bersamaku pula berikut baby sitternya. Iya kan? Ah, betapa lebih rumitnya jika harus merealisasikan mimpi itu saat-saat ini.
Aku jadi ingat ayah juga ingin sekali menempuh S2 waktu itu.
“Ayah meninggal dunia itu ya antara lain karena pingin sekolah S2 itu, mbak. Tapi belum kesampaian” kata Kemal, adikku yang dokter suatu ketika.

Sudah puluhan tahun ayah bekerja di salah satu departemen milik pemerintah itu. Sejak aku lahir sampai meninggalnya beliau. Berarti dua puluh lima tahun. Dengan penuh dedikasi tinggi dan loyalitas tak terbantahkan. Tapi ayah mentok di satu jabatan. Ketika tahun terakhir hidupnya itu, ayah terbentur peraturan baru. Bahwa untuk naik jabatan harus mengantongi gelar S2 dulu. Teman-teman ayahpun berbondong-bondong kuliah lagi. Ayah belum mampu.
“Tolong ambilkan agenda ayah dalam tas, Fi. Di rak paling bawah” kata ayah lirih sambil menahan sakit. Sambil menunjuk almari kecil di samping bed tempat beliau terbaring lemah.
Aku barusan datang dari Solo, tempatku bekerja tahun itu, seusai lulus dari arsitektur universitas di Semarang. Ayah sendiri yang mengirim pesan pendek ke ponselku.
Aku di ICU Kariadi.
Pendek saja pesannya. Tapi aku seakan runtuh. Teman sekantorku, mas Anom sampai kaget dan katanya melihat wajahku pucat seperti mayat.
“Ada apa Fi?” tanyanya sambil mengkhawatirkanku.
“Ayah, mas Anom. Di ICU Kariadi” jawabku dengan suara bergetar. Air mataku sudah meleleh dleweran membasahi pipi dan bajuku.
Ia tak bertanya lagi. Sakit ayah yang bertahun –  tahun selalu kambuh sudah sering membawanya ke rumah sakit. Darah tinggi. Tetapi selalu saja kabar ayah masuk ICU mengejutkan dan membuatku lemas. Siang itu juga aku pamit dari kantor dan langsung ke rumah sakit di Semarang.

“Ini ayah” aku menyerahkan agenda yang kuambil dari tas kerja ayah.
Ayah menerimanya sambil tersenyum penuh arti padaku. Tak ada yang bisa menyangkal bahwa akulah anak emas beliau, anak terkasihnya. Aku tak bisa menyembunyikan air mataku, tumpah di punggung tangannya yang membelai pipiku.
“Tolong kamu rekap semua keuangan yang ayah tulis dari halaman ini sampai ini” kata ayah sambil menunjukkan halaman yang ia maksud. Aku memperhatikan dengan baik.
“Minta tolong ibumu nanti membereskan semuanya” 
Sampai kalimat ayah yang ini aku tak bisa menahan ledakan tangisanku.
“Jangan nangis, Fi. Ayah juga tidak menangis. Ayah akan sehat, seperti biasanya….” Ujar ayah, tabah. Aku mengangguk. Aku anak ayah yang paling anak, tak bisa mengabaikan perintahnya. Kuusap air mataku dan memberikannya senyum terbaikku.
Ayah bahkan pernah sakit yang lebih parah dari ini. Darah keluar dari hidungnya sampai satu ember banyaknya waktu itu, sekitar dua tahun lalu. Ia bisa melaluinya. Ayah kembali sehat dan beraktifitas juga sibuk seperti biasa. Kuharap kali ini juga. Kubuka lembaran –lembaran agenda ayah lainnya seusai menyelesaikan rekapan yang ayah minta. Lalu kutemukan catatan beliau tentang kegalauannya naik pangkat dan keinginannya menempuh S2 itu.
Ah, ayah. Ayah bahkan lebih hebat dan cemerlang daripada para lulusan S2 yang terkadang ada yang kacang-kacangan itu. Kenapa pula S2 menjadi tolok ukur? Aku jadi teringat ayah juga pernah komplain denganku.
“Kamu tuh yang naksir kok anak biasa – biasa saja ya?” kata ayah suatu sore. Kami sedang duduk berdampingan di ruang tengah rumah peninggalan simbah di pojok jalan besar di Semarang. Kami hanya tinggal berdua di sini. Ibu dan adik –adikku tinggal di Demak. Kedekatan kami semakin menjadi –jadi karena selama kuliah, aku tinggal berdua saja dengan ayah. 
“Biasa saja gimana yah?” tanyaku sambil tetap menekuni gambar-gambar desain tugas kampus yang kulembur.
“Nggak ada yang lulusan S2. S1 semua. Malah yang melamar kamu kemarin terakhir itu cuma lulusan D3” kata ayah sambil membenahi kacamatanya. Di hadapannya berserakan material yang ia siapkan untuk presentasi  seminar besok.
“Ah, ayah. Seberapa penting sih S2 itu?” gumamku sendiri.
Aku belum tahu waktu itu. Ternyata S2 sudah mulai menjadi gerundelan sendiri di kepala ayah. Masih dan terus bercokol di sana. Sampai aku lulus S1 dan bekerja di Solo, meninggalkan ayah tinggal di rumah itu sendirian. Ibu tak pernah mau diajak pindah ke Semarang. Beliau nyaman tinggal di kota kecil kami, lebih jauh dari tekanan.
S2.
Mungkin memang bukan itu semata pemicu kambuhnya sakit ayah yang terakhir kali. Tetapi juga kebiasaan merokok yang belum sembuh, tekanan pekerjaan dan pikiran lainnya. Entahlah, aku tak tahu pasti. Hanya saja, usia ayah waktu itu masih muda, 52. 

cerpen by dian nafi @ummihasfa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi