Berhenti (Bicara) Jujur Berarti Kita Kehilangan Sudut Pandang Yang Berarti

Berhenti (Bicara) Jujur Berarti Kita Kehilangan Sudut Pandang Yang Berarti

Mengapa acapkali kita tidak menyelesaikan sebuah tulisan yang sudah kita awali, yang ide dan embrionya datang dari kegelisahan kita atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita?

Ada banyak alasannya mungkin yang bisa kita kemukakan. tapi sadar atau tidak sadar, ada satu hal yang menjadikan tulisan itu nanggung separuh, bahkan kurang dari itu, dan tak terselesaikan. Atau selesai tapi dengan rasa masih nanggung. Ialah kejujuran berbicara, kejujuran memandang, kejujuran bersikap dan kejujuran menulis.

Itulah kenapa Ketika kita Berhenti (Bicara) Jujur Berarti Kita Kehilangan Sudut Pandang Yang Berarti.

Padahal itulah yang orang-orang cari (dari orang lain). Perspektif.

Sekarang, kenapa kita tidak jujur? Atau kenapa kejujuran yang sempat terlintas sehingga embrio ide itu hadir kemudian menghilang alias lenyap di tengah perjalanan?

Acapkali karena kita (terlalu) mengindahkan pencitraan. Kita khawatir dianggap X atau Y atau Z tersebab tulisan yang keluar dengan jujur dan tanpa tedeng aling-aling, tanpa pretensi. Kita menutupinya dengan topeng, kamuflase dan bla bla lainnya, agar citra yang ingin kita tampilkanlah yang hadir di sana.

Padahal, ya padahal, dengan cara-cara itu pada akhirnya 'kekhasan' dan 'keunikan' serta orisinalitas yang semestinya hadir menjadi mentah kembali. Yang keluar adalah mainstream, sama saja dengan banyak opini lain di luar sana, pemafhuman, dan semacamnya.


Jadi, kenapa tidak jujur saja?
Kita masih bisa menampilkannya melalui metafora dan allegori kan? (meski memang ini butuh kontemplasi lebih tinggi lagi, but we have to try it.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@diannafi