PAWASTRAN (CERPEN DIMUAT DI KORAN JOGLOSEMAR)

PAWASTRAN
Oleh Dian Nafi

Kau tahu kadang kematian menyapa seseorang dengan caranya sendiri. Menyapa sebelum datang. Mlipir mlipir, berjingkat sepanjang tepi-tepi. Karenanya pawastran yang didendangkan Gus Dur sedemikian menyentuh kalbu, menggores hati. Kita baru tahu bahwa itulah tembang saat sekarat beliau setelah kematiannya benar-benar tiba dan kita hanya bisa mengenang, Oh ya, memahami, mengenang dan seharusnya mengambil pelajaran. Sampai sekarang pawastran Gus Dur masih sering terdengar dan bahkan makin sering banyak yang memperdengarkan. Begitu menyayat. 

Dan semampang beberapa kali kudengar pawastran Gus Dur di toko yang kusinggahi, juga di sebuah madrasah dekat kantor pos, bahkan di beberapa warung pinggir jalan ketika kendaraanku melaju lambat, kemarin aku seperti membaca pawastran juga di dinding fesbuk seorang penyair. Kemarin juga sempat terlihat di dinding fesbuk ibu dari seorang sahabat. Seperti ada maut yang melambai-lambai. Membawa badai di dalam rasaku. Tiba-tiba aku merasa bahwa umurku mungkin takkan panjang. Mungkin masaku akan segera tiba, akan segera berakhir. Mungkin aku akan mati muda. Apakah aku yang terlalu paranoid? 

Entahlah. Aku hanya belajar untuk menjadi peka. Karena tubuhku menjadi sering mudah lelah. Rasaku mudah galau. Terutama menghadapi suamiku-mas Alim- yang akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. 

Seperti Minggu pagi ini, dia malah meringkuk di tempat tidur mertuaku padahal kami semua sudah bersiap pergi kondangan ke pesta pernikahan saudara. Dan seperti biasanya kalau kami pergi, mas Alim harusnya yang mengemudi mobil. 
“Mas..sudah ditunggu banyak orang lho,”  dengan lembut, jemariku mengelus bahu kekarnya yang terlihat nglempuruk bersama tubuhnya yang akhir-akhir ini Nampak lemas. 
“Mas sakit ya?”  kuraba keningnya. Tidak panas. 
“Mas ?” aku masih menunggu jawabnya tetapi dia hanya memeluk guling dan semakin mojok. 
Semestinya aku mulai panik seperti biasanya kalau suamiku tidak bergegas melakukan sesuatu yang menurutku harus dilakukannya. Seperti kali ini. Seharusnya dia sudah bersiap untuk pergi karena lokasi pernikahannya di luar kota. Reaksiku biasanya marah dan bergumam tak jelas. Tapi kali ini tidak. Inilah yang menggangguku. Aku ingat sekali ayahku yang pemarah menjadi lembut dan halus di hari – hari terakhirnya bersama kami, sebelum pergi selama-lamanya. Perlahan rasa ciut kembali hadir menyelisip ke dalam galauku, lagi dan lagi, Apakah ini artinya waktuku tak lama lagi. 

Kunaikkan tubuhku ke ranjang ibu mertua yang empuk karena beliau rajin menjemur kasurnya. Mungkin mas Alim merasa tak enak hati meringkuk pagi-pagi di kamar kami, jadi ia pindah ke sini. Karena aku sudah lama menghilangkan kebiasaannya tidur lagi di pagi hari sejak tahun pertama pernikahan kami. Aku dengan warisan kedisiplinan dan ketegasan yang keras dari ayah ibuku, membantu suamiku memulai kebiasaan – kebiasaan yang lebih baik. Tapi pagi ini beda. Kubiarkan diriku mendekatinya, menempelkan tubuhku ke tubuhnya, memijat dengan lembut bagian – bagian yang aku tahu ia suka jika aku menyentuhnya.

“Ini pernikahan saudara dekat kita, mas. Aku ingin kita datang sama-sama,” bisikku di telinganya. 
Aku mulai melontarkan bujukanku. Mas semestinya tahu aku selalu mendapat semangat dan energi baru jika menghadiri pesta pernikahan, seperti mengenang saat-saat pertama kami dulu. 
“Aku sedang tak ingin pergi,” jawabnya lemah. 
“Mas yakin?” 
Aku menggigit kecil telinganya yang mulai memerah. Ia mulai tergoda. Tangannya mulai meraba-raba diriku dan galauku.
“Tutup pintunya,sayang,”  pintanya setelah kami sadar apa yang sama-sama kami inginkan saat ini, melepaskan kegalauan.

Oh no! 
Kami di dalam kamar mertuaku, ibunya, tapi sepertinya mas ingin kami melakukannya. Tapi aku melakukan permintaannya, semoga setelah short time ini mas Alim mau pergi bersama kami sekeluarga menghadiri undangan hari ini. Usai menutup pintu, kami melakukannya dengan indah dan kuusahakan tak terlalu panjang karena ibu mertua, kakak ipar dan istrinya sudah menunggu kami di teras rumah. 
Seusai puisi manis kami terentang, kubisikkan sekali lagi bujukanku.
“Mas jadi pergi mengantarku kan?” bisikku lebih personal lagi, meski maksudnya adalah mengantar kami semua. 
“Hmmm..” ia menggumam sedikit sambil terus menciumi aku.
“Tapi aku tidak mau nyetir ya,” ia akhirnya setuju dengan mengajukan syarat.

Pembujukanku berhasil. Kami akhirnya berangkat bersama hari Minggu itu. mas Alim duduk di sebelahku di jok paling belakang, dekat pintu belakang mobil kijang iparku. Sopir kami duduk di belakang kemudi, biasanya ia tak kami ajak dalam acara keluarga. Tetapi karena mas Alim tidak mau nyetir hari ini, kami membawanya turut serta. 

Sepanjang perjalanan kami terus saling bergenggaman tangan, melanjutkan kenakalan kami tadi di kamar mertuaku. Sampai-sampai digoda oleh kakak iparku.
“Duh. Kayak pengantin baru ya, padahal anaknya sudah dua.”
Ah ya. Aku bahkan hampir melupakan dua balitaku karena asyik bermesraan dan memperhatikan kekasihku. Si sulung – Asan- duduk bersama pakdhe-nya di kursi depan. Anak perempuanku- Atima- duduk bersama budhe dan simbahnya di jok tengah. Mas Alim menjawab candaan kakaknya dengan gayanya yang khas, humoris. Satu hal yang membuatku mengagumi dan menyayanginya. Meski suara dan tawanya agak terdengar lesu, tak seperti biasanya.

**

Dibanding mengkhawatirkan diriku dan galauku akan perasaan bahwa umurku mungkin tak lama lagi, sebenarnya aku lebih mengkhawatirkan mas Alim. Dia sedang tidak banyak mengerjakan proyek, bahkan hanya ada satu proyek yang sedang dikerjakannya. Itu juga tidak dengan bendera kami sendiri sebagai pemborong. Tetapi hanya subkontraktor, mengerjakan proyek kecil saja. Dan repotnya lagi bermasalah. Mas Alim mengomandoi mandor dan sekumpulan tukang untuk membangun jembatan di dekat hutan di sebelah kota kami. Dan naasnya hujan lebat dan aliran sungai yang sangat deras meruntuhkan sebagian jembatan yang telah hampir selesai pengerjaannya. 

Kepalanya sering terkulai di bahu kanannya akhir-akhir ini. Dia akan duduk lama dengan posisi seperti itu di bangku teras, dengan mata sayu menatap kosong. 

Kadang dia masuk keluar rumah dengan tujuan yang tak jelas. Saat mas Alim berpamitan tadi, aku tak menanyakan hendak ke mana perginya karena tak ingin membuat egonya terluka. Kuanggap ia hendak pergi menangani proyek jembatan itu. 
“Aku pergi dulu, nok,” ucapnya pendek. 
Aku mencium takdzim punggung tangannya. Membawakan tasnya sampai ke pintu depan rumah. Kemudian kembali ke dapur untuk memasak, menyiapkan sesuatu yang istimewa untuknya saat makan siang nanti. Agar dia kembali bersemangat dan tidak layu seperti pemandangan yang kami serumah lihat tentangnya.

“Assalamualaikum,”  suara bass-nya terdengar sampai ke dapur. 
“Alaikum salam,” tergopoh aku berlari menyambutnya dengan cium tangan dan sedikit pelukan. Aku sungguh sangat ingin memberinya momen-momen istimewa di saat-saat aku mungkin tak lama lagi pergi, meninggalkan semua kefanaan dan carut marut dunia ini. Tak urung aku terkejut juga karena baru setengah jam yang lalu mas Alim pergi, tiba-tiba sudah kembali.

“Ada yang ketinggalan, mas?” tanyaku keheranan.
Dia hanya menggeleng lemah lalu memasuki kamar kami. Aku dengan sigap mengikutinya, memijit kaki dan badannya. Heran juga aku pada diriku sendiri, karena untuk kondisi yang standar, aku akan nyerocos tidak karuan. Tapi entahlah, lagi-lagi aku mungkin mencoba melembutkan diriku untuk memberinya kesan terindah sebelum aku pergi. Aku ingin meresahkan kegalauannya, apapun itu. Akhirnya kubiarkan suamiku meringkuk kembali di tempat tidur meski sebenarnya secara fisik dia kelihatannya sehat.

**

Sikapku yang memanjakan dan menservisnya lebih dari biasanya terus berlangsung begitu saja. Dan aku menikmatinya. Termasuk perjalanan kami ke Jakarta Rabu itu. Serasa bulan madu yang kedua karena enam tahun lalu kami juga ke Jakarta untuk bulan madu di tengah tahun setelah pernikahan kami berlangsung sebulan sebelumnya.

Kami berangkat utamanya untuk urusan pekerjaan, aanwisjing proyek pabrik besi yang akan kami kerjakan. Tetapi perjalanan itu sendiri telah menjadi hadiah bagiku. Kepalaku terus menerus diraihnya dalam dadanya yang bidang. Kami duduk bersisian di jok tengah. Dia terus meremas dan menciumi tanganku, mengelus lembut kepalaku, mengabaikan sopir dan dua rekan kami yang turut dalam rombongan ini.

**

Sepulang dari Jakarta kemesraan kami semakin menjadi-jadi. Yang sebenarnya aku senang, bahagia namun sekaligus takut. Terlalu tenggelam dalam kebahagiaan yang seketika seperti gelombang dahsyat yang menggulung, bukankah itu seperti menyiratkan sesuatu? 

Aku terus menghibur diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Anak- anakku masih kecil, tiga dan satu setengah tahun, kasihan mereka jika sampai harus kehilangan ibunya. Aku menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan dan juga menambah sedikit lebih panjang doa dan sujud malamku.
Aku mulai meniru kebiasaan suamiku untuk membaca rathib, sebuah wirid yang diajarkan gurunya. Yang akhir akhir ini dibaca mas Alim dengan lebih khusyu’ setiap bakda maghrib. Sambil duduk ndepipis, mojok di kursi ruang tamu, dengan wajahnya yang bersinar-sinar meski nampak kuyu dan lusuh oleh beban hati dan pikirannya. 

Tiga malam berturut – turut kami melalui malam yang sangat istimewa, malam-malam yang menggetarkan seolah waktu terhenti dan hanya ada kami berdua ditelan gelombang kebahagiaan. Seolah dunia dan kehidupan akan segera berakhir sehingga kami menikmati waktu tersisa dengan sebaik-baiknya.

Malam Ahad ketika mas Alim harus pergi kembali ke Jakarta untuk melanjutkan apa yang sudah kami sama-sama rintis beberapa hari lalu, aku melepasnya dengan berat. 
Teman-temannya- tim kami- di dalam mobil kijang yang ikut berangkat menggodaku.
“Wah, kayaknya mau ikut ke Jakarta lagi tuh,” ujar bosnya.
Aku tersenyum kecil menyembunyikan merah dadu di pipi dan hangat di wajahku. Mas Alim menatap kedua bola mataku, mencoba mencari kemungkinan kalau kata – kata temannya itu benar. Aku semakin tersipu merasakan diriku terbakar oleh tatapan matanya yang meski sendu namun akhir – akhir ini memabukkan hatiku.
Aku mengangkat bahuku sedikit, dia paham.
“Dia ada pekerjaan di sini, bos,“ujarnya ke arah bosnya. 
“Dia tidak bisa ikut meski ingin. Iya, kan? Ah, tidak apa. Kita cuma tiga hari,” kali ini matanya melirikku nakal. Matanya beradu dengan mataku, yang terbakar, terbakar rindu bahkan sebelum berpisah.
“Aku hanya tiga hari, okey?” Mas Alim kembali mengecup keningku. Jemarinya terus menggenggam erat jemariku. Tak dilepasnya hingga akhirnya kelingking kami saling mengkait sebelum kedua telapak tangan kami akhirnya harus berpisah. 

Mas Alim duduk di jok belakang mobil kijang itu. Membalikkan tubuhnya sehingga wajah tampannya tersenyum dengan sangat lebar ke arahku yang berdiri beberapa meter di belakang mobil itu, di teras rumah kami. Tangannya melambai mesra, dengan kedipan matanya yang meluruhkan duniaku. Teman-temannya menggoda sekali lagi dengan suitan dan apalah yang tak begitu terdengar olehku karena duniaku terserap oleh magnetnya. Aku membalas lambaian Mas dengan rasa yang tak terkatakan. 
Dan ternyata itu adalah lambaian yang terakhir. 
Bukan, bukan lambaianku yang terakhir, tetapi lambaiannya.
**
Aku duduk tergugu. Bagaimana aku bisa mengira bahwa umurkulah yang akan pendek. Malaikat maut telah sedemikian dekatnya dengan kami dan aku kege-eran mengira akulah yang akan dijemput. 
Bagaimana ketika pawastran itu begitu dekat denganku, tapi aku tak sempat membaca dan mengenalinya dengan baik. Lalu tiba-tiba suamiku pergi dan tak pernah kembali lagi. Berpulang ke alam cahaya. 
*
Seharusnya saat itu tercium sesuatu. Mas Alim takut bepergian apalagi takut menyetir seminggu yang lalu itu mungkin karena dia sudah diberi isyaratNya. Tapi aku tak cukup peka, mungkin karena penciumanku tertutup oleh ciumannya. 
Aku menangis bermalam-malam dengan lobang dalam rongga dadaku yang menganga. Dan semakin menganga.


2 komentar:

Adbox

@diannafi